PSSI OH PSSI !

1235261_10202950888361438_5131690066751210217_nOleh: Ram Makagiansar

BICARA PSSI seakan tak akan pernah habisnya. Sayangnya bukan soal prestasi namun seakan akrab masalah.

Pengurus sibuk teriakan soal aturan. Pengurus sibuk, atau sengaja menyibukkan diri, atur kompetisi. Pengurus sibuk (maaf) ‘atur skor’ atau apa.

Bahwa PSSI belum bisa memproduksi sebuah muara timnas tangguh, itu fakta.

Kita sibuk menonton saat menyaksikan live streaming Vietnam memastikan lolos ke 8 Besar melewati Yordania di Piala Asia 2019. Dan Thailand, meski gagal lolos, hanya kalah tipis dari salah satu raksasa ras kuning, Cina, 1-2 di 16 Besar.

Duo Asean itu telah jauh berlari di depan kita. Profil sebuah negara besar yang dengan penduduk 250 juta, belum mampu menciptakan 11 pemain berkelas dunia. Jangankan juga Asia, level Asean pun masih amburadul.

Ketertinggalan adalah kata kunci potret buram sepak bola Indonesia. Pintar berteori tentang sepak bola apalagi di atas kertas namun ternyata di atas lapangan KJ alias kurang jelas!

Ini diperparah dengan terbongkarnya pengaturan skor (baca: suap). Dari tidak berani, akhirnya petinggi klub berani berkoar. Praktik ini, diduga, sudah lama terjadi. Namun, tersimpan rapat.

Apresiasi positif muncul saat Polri membentuk tim untuk mengusut hal tabu dalam dunia olahraga itu. Selain pemakaian doping yang acap membuat olahraga dunia tercoreng, di sepak bola, khsususnya di Indonesia, suap pun harus wajib dihabisi !

Problem terbesar kita ada pada komitmen kepengurusan PSSI. Ya, benang merah sebuah kompetisi adalah pada timnas tangguh. Namun, ternyata itu belum juga mampu menghadirkan senyum kepuasan bagi penggemar bola tanah air.

Pasalnya, oknum-oknum pengurus PSSI, menjadikan kompetisi sebagai ladang. Mereka tak peduli akan lahir sebuah timnas tangguh. Yang ada adalah bagaimana kompetisi ini mampu memproduksi rupiah. Maklum, kompetisi adalah mesin uang !

Artinya, yang di jaga, di pelihara, dan di elus oknum-oknum pengurus adalah kompetisinya (baca: klub).

Selain juga tuntuan FIFA bahwa negara harus memutar kompetisi dan berarti akan ada kucuran dana bagi organisasi dimaksud. Juga, bisa saja, hanya sebagai slogan bahwa pengurus PSSI punya program.

Kendati pun, ada hal aneh sering terjadi. Disaat ada kompetisi resmi berjenjang antar negara yang harus dihormati, kompetisi di Indonesia, malah jalan. Itulah hebatnya sepak bola kita.

Lantas apakah sudah jalan keluar saat Edy Rachmayadi mundur dari kursi ketua umum ? Belum juga.

Gubernur Sumatera Utara itu seakan no choice. Ya, tak da pilihan dan harus ikut arus. Padahal, terpilih saat masih Pangkostrad banyak yang berharap PSSI bisa bersih. Maklum, latar belakangnya sebagai TNI mendukung opini itu.

Tapi, lagi-lagi, Ibarat luka, PSSI memang sudah akut. Edy tak mampu, Edy pun mundur.

Menpora Imam Nachrowi, sudah sering mengkritik PSSI yang bisa apa. Tentu menterjemahkan keinginan Presidan Jokowi dan masyarakat bola Indonesia yang menunggu dalam ketidakpastian soal prestasi.

Celakanya, sepeninggal Eddy, masih ada figur-figur yang dikenal sudah kenyang pengalaman dan masih bertahan seperti Djoko Driyono dan Iwan Budiyanto serta seabreg lagi.

Hanya masalah suap yang bisa menghentikan mereka kalau toh KLB nanti mereka masih lolos.

Benar, untuk sementara DJokodri, menjadi Plt Ketum, namun goyangan’menghabisi’ mereka akan kuat. Dan, kemungkinan setelah Pilpres akan ada KLB guna menentukan nahkoda baru PSSI.

Siapa paling pas ? Muncul dua nama. Pertama figur fenomenal yang akan bebas dari terali besi 24 Januari 2019 karena ‘dikorbankan’. Yaitu yang saat ini ingin dipanggil BTP kependekan dari Basuki Tjahaya Purnama bukan lagi Ahok.

Tapi, untuk soal sepak bola, tentu BTP mesti harus sedikit timba ilmu. Jika soal manajemen dan untuk membersihkan dari suap, figur seperti ini yang dibutuhkan PSSI.

Siapa kedua ? Erick Tohir. Ada alasannya. Pertama, dia mantan salah satu pemegang saham di Internazionale Milan, klub anggota Serie A Italia. Kedua, sukses menjadi pimpinan penyelenggara Asian Games XVIII 2018 di Jakarta-Palembang.

Tapi, apakah Erick siap. Dia mengaku siap memimpin PSSI. Namun, dia masih fokus dulu sebagai timses Djokowi-Amin. Setali tiga uang dengan para netizen yang rame-rame mendukung Eric. Bos Mahaka Grup yang masih ada saham di I klub Oxford United Inggris.

Kita tunggu waktu saja, Kalau Jokowi kembali memimpin Indonesia kali kedua, barangkali Erick tak akan menolak jika sudah dimintakan presiden.

Saat ini, sejujurnya, PSSI terbantu dengan banyaknya kejuaraan usia muda. Satu hal yang jarang dilakukan PSSI. Usia muda ini, banyak penggelarnya, Selain tentunya ada Kemenpora dengan sepak bola berjenjang, seperti U-12, U-14, U-16.

Suatu ketika, saat media kami Tabloid BOLA menggelar acara Anugerah Olahraga Indonesia (AORI) bagi atlet dan pembina olahraga terbaik Indonesia di hotel Santika, Slipi, Jakarta, saya berbincang dengan Edy Rachmayadi. Usai, share dengan Menpora Iman Nachrowi.

Saya bilang, ‘’pak bagaimana pendapat bapak soal kejuaraan kelompok umur, termasuk Piala Menpora. Apakah PSSI tulus mendukung karena banyak hambatan di daerah justru dilakukan pengurus Asprov PSSI,’’?

Pangkostrad itu pun—karena masih menjabat saat itu—bilang,’’ Kelompok umur membantu PSSI. Membangun fondasi ke depan. Banyak bibit dan ini harus didukung, Kami mengapresiasi Piala Menpora dan lainnya.’’

Sah !

Tapi, apa lacur. Keinginan Edy membenahi PSSI tidak bisa jalan bagus. Ada sistem yang telah terbangun dan sulit dibongkar.

Tengok saja, Piala Suratin U-15 dan U-17 gaweannya PSSI. Ajang yang sempat diam namun hidup kembali itu tercoreng. Juga telah digerayangi suap.

Nah,. Kalau pun tidak ada suap, sikap ‘beking diri’ kerap muncul dari pengurus. Seakan tak mau ada kejuaraan event lain diluar PSSI yang bisa menggelarnya. Hambatan pada rekomendasi penyelenggaraan kerap muncul. Meskipun sudah ada kerja sama di pusat.

Jadi, bukan hanya suap. Ketulusan niat membangun demi sepakbola Indonesia masih ditungggu! Setuju atau tidak, ini kondisi riilnya. Miris, memang !