SBAN Liow Minta Semua Agama Diperlakukan Setara

Ir SBAN Liow, anggota Komite III DPD-RI
Ir SBAN Liow, anggota Komite III DPD-RI

JAKARTA, (manadotoday.co.id)—Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) perwakilan Sulawesi Utara Ir Stefanus BAN Liow MAP meminta agar semua agama di Indonesia diperlakukan setara dan tidak terburu-butru mengesahkan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Menurutnya, beberapa pasal masih perlu dikaji kembali karena dinilai berpotensi mengecilkan keberadaan pesantren dan pendidikan keagamaan.

‘’Ya, masih perlu dilakukan kajian mendalam melibatkan semua pemangku kepentingan untuk duduk bersama merumuskan kembali terkait landasan filosofis, sosiologis dan yuridis,’’ ujar SBAN Liow dalam Rapat Dengar Pendapat (RDPU) Komite III DPD-RI bersama pimpinan PP Muhammadiyah, PB Nahdlatul Ulama,  Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan MUI di Ruang Rapat Komite III DPD RI, Senayan Jakarta, Selasa (18/12/2018).

Agar berpihak pada masyarakat lanjutnya, RUU tersebut harus dikaji ulang agar isinya bisa sesuai aspirasi masyarakat.

SBAN Liow yang kembalki mencalonkan diri untuk DPD-RI Periode 2019-2024 Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Utara melihat perlu ada penyempurnaan naskah RUU. Khususnya, terkait dengan masalah pendidikan dan pembinaan di kalangan umat Kristen, seperti Sekolah Minggu dan Katekisasi sebagaimana terdapat dalam Pasal 69 dan Pasal 70.

Tokoh-tokoh agama yang menghadiri RDP dengan Komite III DPD-RI
Tokoh-tokoh agama yang menghadiri RDP dengan Komite III DPD-RI

Dijelaskannya, keberadaan institusi pendidikan keagamaan sejak dahulu sudah diakui masyarakat Indonesia. Jadi, semua agama diperlakukan setara.

‘’Namun sekali lagi, harus ditegaskan sejak awal agar hal-hal yang bertalian langsung dengan peribadahan seperti hanya sekolah minggu dan katekisasi tidak dimasukan dalam regulasi Negara,’’ tukasnya.

Anggota Komite III DPD-RI asal Provinsi Sulawesi Selatan Iqbal Parewangi tak lupa mengingatkan, RUU tersebut berpotensi mereduksi keberadaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014  tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 10 ayat (1) huruf f yang sudah tegas menyebutkan bahwa pengelolaan pendidikan keagamaan menjadi kewenangan Menteri Agama dan merupakan urusan pemerintahan yang bersifat absolut.

‘’DPD-RI akan berhati-hati dalam membuat penilaian terhadap RUU ini. Kita akan pertimbangan betul manfaat dan mudharatnya. DPD RI tidak usah terburu memberikan pandangan dan pertimbangan,’’ ujarnya.

Sementara Ketua Komite III DPD-RI Dedi Iskandar Batubara mengapresiasi niat baik DPR-RI menyusun RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Menurutnya, landasan filosofis, sosiologis dan yuridis dari penyusunan RUU ini cukup baik.

Tokoh-tokoh agama yang hadir dalam RDP dengan Komite III DPD-RI
Tokoh-tokoh agama yang hadir dalam RDP dengan Komite III DPD-RI

‘’Namun RUU perlu kembali dikaji secara mendalam agar hasilnya benar-benar optimal sesuai aspirasi masyarakat di daerah. Intinya, kita sepakat ingin bersama-sama membangun dan memajukan pesantren dan pendidikan keagamaan,’’ tandasnya.

Batubara mengatakan, naskah akademik dari RUU yang disusun oleh DPR-RI belum komprehensif. Dia berharap, dalam penyusunan RUU ini DPR-RI melibatkan semua elemen keagamaan. Mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Bundha, Hindhu dan Konghucu.

‘’Sistematika dalam penyusunan RUU ini dan pasal-pasalnya perlu ditata kembali. Selain itu, RUU ini harus harmonis dengan UU Sisdiknas dan PP Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. RUU ini jangan sekadar copy paste, tapi harus aspirasi langsung dari masyarakat,’’ pesannya.

Wakil Ketua Komite III DPD-RI Novita Anakota mengatakan RUU ini sebenarnya sangat strategis, karena itu isinya harus sesuai aspirasi masyarakat. Jangan sampai penyusunan RUU tergesa-gesa dan justru menghambat kemajuan pesantren dan pendidikan keagamaan.

‘’Yang jelas DPD-RI ingin kalau payung hukum itu dibuat bisa betul-betul memajukan pesantren dan pendidikan keagamaan,’’ tukasnya. (ark)