Lanjutan Sidang Praperadilan, Clift Pitoy Hadirkan Dua Saksi Ahli

Lanjutan Sidang Praperadilan, Clift Pitoy Hadirkan Dua Saksi Ahli

MANADO, (manadotoday.co.id) – Sidang praperadilan Pengacara Clift Pitoy terhadap Direktur Reserse dan Kriminal (Direskrimsus) Polda Sulawesi Utara (Sulut) memasuki hari kelima dengan agenda pembuktian dan mendengarkan keterangan para saksi ahli, Senin (1/8/2022).

Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Felix Wuisan, Clift Pitoy sebagai pemohon menghadirkan dua saksi ahli yakni dra. Femmy Lumempouw, Dosen Fakultas Sastra Unsrat Manado, sebagai Saksi Ahli Bahasa dan DR Michael Barama SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Unsrat sebagai Saksi Ahli Hukum Acara Pidana.

Femmy Lumempouw dalam pernyataan ahlinya di depan hakim menjelaskan pengertian dari kalimat ‘telah melakukan tindakan pencemaran’ pada surat pengaduan yang diberikan pelapor (pemilik Gedung eks RM Dego-dego) ke penyidik Polda Sulut terkait pencemaran kasus nama baik beberapa waktu lalu.

Menurutnya, kalimat ‘telah melakukan tindakan pencemaran’ merupakan kalimat tuduhan, yang bisa diartikan menjadi fitnah jika kalimat tersebut tak bisa dibuktikan oleh si penuduh. Dan ini bisa menjadi alat bukti terjadinya upaya pencemaran nama baik

“Kalimat ‘telah melakukan’ itu sama saja dengan telah menuduh. Dan jika kalimat tersebut tak bisa dibuktikan oleh si penuduh, itu dianggap telah melakukan fitnah. Jadi, fitnah bisa dikategorikan sebagai aksi pencemaran nama baik,” jelas Femmy Lumempouw.

Sementara saksi ahli kedua, DR Michael Barama dalam pernyataan ahlinya menjelaskan soal aturan dalam penghentian penyidikan.

“Penghentian penyidikan oleh penyidik, haruslah memberitahukan ke penuntut umum dalam hal ini kejaksaan. Hal tersebut tercantum pada KUHAP Pasal 109 ayat (2) yang bunyi lengkapnya adalah, ’Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya’. Jadi ada hal yang dilanggar oleh penyidik,” jelas Barama di hadapan hakim.

Terkait 2 alat bukti yang menjadi dasar ditingkatkannya penyelidikan ke tahap penyidikan, Barama pun memberikan penjelasannya.

“Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa sudah menjadi alat bukti. Jika terjadi beda pendapat antara 2 saksi ahli, penyidik tak bisa mengambil keputusan sepihak atau membenarkan pernyataan salah satu saksi. Pernyataan dari kedua saksi ahli yang bertentangan tetap dipakai, dan penyidik dalam hal ini tidak bisa memberikan penilaiannya mana yang bisa dipakai. Pernyataan salah satu saksi ahli yang dinilai lemah atau dianggap kurang nilainya, tetap harus dipakai sebagi alat bukti juga. Jadi, jika sudah cukup bukti, kenapa tidak tahapan penyidikan ini untuk dilanjutkan?,” bebernya.

Lebih lanjut Barama menjelaskan, pada tahap penyelidikan sudah terjadi investigasi dan pengumpulan bukti. Setelah naik ke tahap penyidikan atau pro Justitia, berarti telah ditemukan terjadinya tindak pidana, dan penyidik juga sudah tahu jika sudah ada pelaku tindak pidana dan tentu saja dengan alat bukti. Pada tahap ini bisa dilakukan upaya paksa, seperti bisa melakukan penyitaan surat.

“Tetapi di dalam pendalaman materinya, bahwa setelah terjadi pada penyelidikan, telah ditemukan terjadinya tindak pidana, berarti setidaknya sudah ada gambaran bahwa itu sudah ditemukan adanya bukti. Jadi setelah dikatakan ada terjadi tindak pidana, berarti penyidik sudah tahu ada pelaku tindak pidananya dan disertai dengan bukti. Jadi penyidik harus obyektif dan jujur, karena di tahap penyidikan sudah tidak bicara lagi soal bukti, karena pembuktian sudah terjadi di tahap sebelum pro Justitia atau penyelidikan,” tambahnya.

Di akhir pernyataannya, Barama juga menjelaskan soal pencemaran tertulis yang dilakukan oleh pelapor MT terkait kasus pencemaran nama baik kepada terlapor Pengacara Cliff Pitoy kala itu.

“Ada terjadi hal pencemaran terhadap pengacara Cliff Pitoy, dimana pelapor waktu itu saat memasukkan laporannya ke polisi membuat tembusan surat ke kelurahan dan kecamatan. Padahal, menurut Pasal 310 ayat 2 KUHP, mengenai pencemaran tertulis; ‘Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan’. Cukup dilaporkan saja kepada kepolisian,” tutup Barama.

Dalam persidangan yang sama, pihak terlapor juga menghadirkan saksi ahli hukum DR Jemmy Sondakh dari Fakultas Hukum Unsrat Manado, yang dalam pernyataannya mengatakan menjadi hak warga negara untuk membuat laporan dan meminta perlindungan.

“Itu disebutkan di Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A hingga 28J, bahwa menjadi hak warga negara untuk membuat laporan dan meminta perlindungan,”kata Sondakh.

Saksi Ahli hukum terlapor juga sempat menolak beberapa pertanyaan yang ditanyakan oleh kuasa hukum pelapor, dengan alasan hanya akan menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan surat penugasannya.

Sidang ditunda sampai tanggal 2 Agustus 2022 dengan agenda kesimpulan dan Putusan pengadilan.(*)