SBANL Tampil Bersama Ahli Politik dan Hukum di FGD Wacana Amandemen UUD 1945

DPD-RI, MPR-RI Stefanus BAN Liow, FGD
Senator Ir Stefanus BAN Liow MAP saat FGD dengan para ahli politik dan hukum

TANGERANG, (manadotoday.co.id)–Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) Ir Stefanus BAN Liow MAP (SBANL) tampil bersama ahli politik dan hukum saat Kelompok DPD-RI di MPR-RI menggelar Focuss Group Discussion (FGD) yang berlangsung di Tangerang Banten Rabu  (8/9/2021).

Dalam FGD dengan topik  Presiden Perseorangan, Presidential Threshold dan Penataan Kewenangan DPD-RI tersebut Senator SBANL tampil bersama sejumlah analis politik dan hukum di tanah air seperti  Prof Dr Siti Zuhro (Peneliti LIPI), Prof Dr Hafid Abbas (Guru Besar Universitas Jakarta/UNJ dan Mantan Ketua Komnas HAM), Dr Margarito Kamis SH MHum (Hukum Tata Negara/Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR-RI), Dr Ubedilah Badrun (Akademisi UNJ dan Direktur Eksekutif Center for Social Political Ekonomic & Law Studies/CESPELS) serta Drs Wahidin (Mantan Anggota MPR RI/Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI).

Selain Senator SBANL,  tampil juga narasumber dari DPD-RI/MPR-RI lainnya yakni Tansil Linrung (Sulawesi Selatan) dan Aji Mirza Wardana ST MM (Kalimantan Timur).

‘’Prinsip dalam penataan kewenangan DPD-RI adalah mempertegas atau memperluas kedudukan DPD-RI sebagai lembaga negara yang merepresentasi daerah atau dalam artian DPD-RI adalah kanal aspirasi dan kepentingan daerah,’’ kata Stefa—sapaan akrabnya SBANL dalam materinya di FGD.

Soal dorongan adanya calon presiden perseorangan lanjutnya, adalah merupakan konfigurasi politik publik yang menginginkan adanya calon presiden perseorangan sebagai jalur alternatif selain jalur partai politik. Tentang presidential treshold (ambang batas), semangat dan motivasinya kata Senator Stefa adalah untuk menguatkan sistem pemerintahan presidensil.

Prof Dr R Siti Zuhro MA memberikan catatan penting dan kritis. Menurutnya, DPD-RI  dipilih langsung oleh rakyat sejak pertama, harus bertanggung jawab kepada rakyat, harus melakukan fungsinya sesuai amanat konstitusi pasal 22D.

Menurutnya, perlu dan penting dilakukan penataan kewenangan DPD-RI. MPR harus hadir mengawal sistem bicameral dan amandemen konstitusi yang harus secara keseluruhan dan tidak hanya parsial seperti Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) saja.

Pola relasi DPR dan DPD perlu diperhatikan agar DPR dan DPD sama-sama kuat. Jangan sampai legislasi hanya didominasi oleh DPR sementara DPD diabaikan. Legislasi harus dijalankan secara seimbang.  Calon perseorangan hendaknya menjadi instrumen untuk memperbaiki demokrasi yang dapat memberikan akses politik bagi warga negara sehingga dapat memangkas rongrongan penguasa modal. Peluang bagi calon perseorangan bisa saja meraih dukungan besar dari masyarakat, karena merosotnya dukungan rakyat untuk partai politik,’’ tandas Prof Siti.

Sementara Prof Dr Hafid Abbas mengatakan, negara yang kuat bertahan ialah yang fungsi-fungsi integrasinya diperkuat. Kajian komparatif bisa dilakukan untuk memperkuat gagasan dalam penataan kelembagaan di Indonesia. Indonesia perlu bergandengan tangan seperti yang dilakukan oleh beberapa negara lain dalam menata kerja-kerja parlemen seperti di Afrika Selatan dan Swiss.  Kelembagaan parlemen Indonesia perlu ditata ulang dengan prinsip realistik, efektif, reflektif dan futuristik.

Menurutnya, ada 5 kendala jalur calon independen, yaitu Sistem Trias Politika, jika terpilih, pemerintahan tidak stabil, bertentangan dengan UUD 1945, serta larangan calon independen telah diujimaterikan. Namun tambahnya, ada sejumlah dukungan konstitusi pada Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

Dr Margarito Kamis SH MHum dengan tegas menyatakan DPD-RI harus hadir untuk ambil keputusan dan itu minimum yang harus dilakukan untuk menunjukkan kehadirannya.

‘’Harus mempromosikan berbagai yang relevan ke ruang publik, DPD-RI perlu berbicara ke publik. Terkait legal standing DPD-RI dalam pengajuan judicial review, dapat bersinergi dengan pihak lain seperti partai-partai kecil dan mencarikan formulanya,’’ katanya.

Risalah perdebatan DPR, MPR tidak dibnahas angka-angka, semua partai politik boleh mencalonkan diri sebagai presiden (original intent). Perdebatan yang melahirkan Pasal 6A itu yang harus dituliskan semuanya sehingga dapat memahami secara baik original intentnya.

Kemudian, Dr Ubedillah Badrun SPd MSi mengungkapkan, eksekutif disandera oligarki predator, regulasi tidak prorakyat, pemilu legislatif berbiaya mahal dan disandera pemilik modal, pilpres berbiaya mahal dan disandera oligarki karena PT 20 persen. Indonesia sangatlah luas dan jika hanya dua calon presiden, sepertinya tidaklah pas sehingga calon perseorangan menjadi relevan.

‘’Jika menggunakan sistem bikameral, kewenangan DPD perlu diperluas seperti Senator di Amerika Serikat.  PPHN bertentangan dengan sistem bikameral dan presidensial,’’ tegasnya.

Sementara Drs Wahidin mengingatkan otonomi daerah sebagai semangat DPD-RI harus terus dijaga karena itu merupakan agenda reformasi. ‘’Kalau dalam kondisi seperti sekarang ini, kualitas demokrasi kita tidak akan maksimal. Tidak perlu mensakralkan konstitusi kita sehingga perubahan dapat saja dilakukan,’’ ujarnya.

Senator Aji Mirza Wardana ST MM dari Kalimantan Timur menyampaikan beberapa isu dan permasalahan di daerah yang perlu untuk didampingi masyarakatnya dalam bentuk-bentuk advokasi sehingga kehadiran dan manfaat DPD bisa dirasakan.

Ketua Kelompok DPD-RI di MPR-RI, Tamsil Linrung menyimpulkan masukan dari para pakar dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk diambil keputusan politik bagi DPD-RI. Diskusi kali ini lebih berfokus pada isu yang berkembang saat ini terkait Amandemen kelima yang memunculkan PPHN.

Banyak pandangan lain apakah perlunya adanya amandemen maupun tidak, DPD-RI sudah menyuarakan amandemen terkait penguatan serta penataan DPD-RI.

‘’Kalu harus lewat amandemen, maka perlu adanya penguatan kewenangan DPD-RI. Presidential Treshold atau ambang batas, dari DPD-RI yang dominan menginginkan tidak adanya PT atau nol persen,’’ tukas Tamsil yang pernah menjadi anggota DPR-RI. (*/ark)