Perginya Sang Pemimpin

Ram Makagiansar

Catatan: Ram Makagiansar

Senin (19/4), grup WA Tim Pra/PON XIV 1996 mendadak heboh. Terkejut sekaligus kaget!

Adalah Yohan Heydemans, yang pertama memposting sekira pukul 06.38 Wita.

“Selamat jalan teman seperjuangan dalam tim Pon 96 Leo Soputan.”

Sontak saja para penghuni grup mulai merespon. Saya juga yang masih kaget langsung beri komentar.

Intinya, tak percaya almarhum bernama lengkap Akira Leo Soputan telah mendahului kita. Ya, Gan, sapaan akrab rekan-rekannya telah berpulang di Tangerang.

Apalagi sehari sebelumnya dia merayakan HUT ke 45.

Dia adalah asisten Ricky Nelson di tim Liga 2 Sulut United hingga tutup usia. Benar juga dia eks pemain sejumlah klub elit Indonesia mulai Pelita Jaya, Persijatim, Persita, Arema Malang.

Bahwa juga bersama Arema itulah fenomena tercipta. Trio Sulut, Benny Dollo (arsitek tim) dan Firman Utina, Tim Kota Apel itu menjuarai Coppa Dji Sam Soe 2005 dan 2006. Dua kali ! Mengalahkan Persipura san Persija di final !

Tapi unsur kedekatan dengan komunitas bola Sulut yang tak lekang ditelan zaman, bahwa Leo adalah pemimpin tatkala tim U-23 Sulut membuat hentakan luar biasa di arena PON 1996 Jakarta.

Gebrakan awal di stadion Lebak Bulus. Jawa Timur, tim mentereng dengan komandan Bejo Sugiantoro harus mengakui kehebatan anak-anak Sulut. Gol Yohan Heydemans gagal dibendung kiper nasional saat itu Hendro Kartiko.

Konstelasi cabor bergengsi di PON itu berubah ! Sulut sudah merampas simpati dan disebut kuda hitam.

Singkat cerita. Jatim kembali kaget karena Sulut kembali di depan mata mereka di semifinal.

Jatim melihat ada ancaman dari Timur. Perjalanan Sulut hingga lolos ke semifinal membuat Jatim was-was.

Maka skenario jam pun di ubah pihak pelaksana. Kick off yang semestinya dimainkan pukul 14.00 Wita molor dua jam.

Alm. Leo Soputan (foto: Ist)

Sejumlah kabar saya dengar termasuk dari rekan-rekan pers kenalan saya di Jakarta,maklum karena menjadi bagian dari Tabloid BOLA bahwa Jatim merasa tak Pede.

Maka untuk membendung laju anak-anak Sulut perlu suntikan pemain tambahan. Alm Eri Irianto dan Anang Ma’ruf, dua punggawa lini tengah timnas yang tengah beraga di Singapura “dibajak” sementara. Penerbangan yg hanya 1,5 jam dari Singapura ke Jakarta memang turut membantu Jatim saat itu.

Namun Sulut tak gentar. Duel sengit terjadi. Barisan depan Sulut yang diisi striker tunggal Stanley Ungke Mamuaja, di tengah ada tiga gelandang mumpuni Alen Mandey, Yohan Heydemans, Steivy Kussoy dilapis Erwin Sungge -sebekum diganti alm Izack Fatari –dan jadi tombak kembar bersama Ungke–mampu menekan Jatim dengan sejumlah pemain nasionalnya.

Di belakang ada Deny Otta (kiri) dan Jhony Patras (kanan) dan segi tiga emas tengah diisi Rahman Bereki dan sang kapten tim Leo Soputan menjadi double stopper dilapis Arifin Adrian sebagai libero.

Jatim kelabakkan. Paling tidak dalam amatan saya hingga 45 menit babak pertama setelah Alen Mandey membuat Sulut memimpin 1-0.

Hendro Kartiko kembali ditaklukan setelah di babak penyisihan. Yohan dengan tendangan melambung juga sama halnya Alen.

Jika Yohan hanya sedikit jauh dari kotak 16, Alen nyaris dari setengah lapangan. Senayan gempar. Di Sulut pun dalam tayangan langsung TVRI heboh !

Kubu Sulut yang dipimpin Gubernur saat itu E.E Mangindaan, Wagub Drs A.A Nadjamuddin serta Walikota Manado Ir Lucky Korah Msi di tribun utama Stadion Utama Senayan juga tak percaya apa yang tengah diukir anak-anak Sulut.

Pendukung Sulut juga dibuat tak percaya.

Namun, momen itu belum menjadi milik Sulut. Dua gol Jatim lewat Anang dan Eri, dua pemain baru Jatim meredam perjalanan Sulut, 2-1. Saat itu fornasi berubah karena Stevy diganti Frangky.

Emas dan perak lepas masih ada perunggu sebagai medali tersisa. Sulsell dhantam Irian Jaya- belum nama Papua‐pada semifinal lainnya menjadi lawan di perebutan tempat ketiga.

Tiga kali pertemuan, termasuk penyisihan di Stadion Klabat, dan kualifikasi.lanjutan di Stadion Lebak Bulus sebelum penyisihan, Sulut selalu unggul atas Marwal Iskandar dkk.

Medali perunggu pun sukses direbut Sulut setelah menang 2-0. Fortunatus Kalendesang, Maikel Tuuk cs melabrak Sulsel dan memastikan perunggu.

Perunggu sepak bola, malah diisebut Mangindaan saat itu sama dengan medali emas bagi cabor lain.

Leo cs pun pulang tetap dengan kepala tegak. Ada kebanggaan. Barangkali cabor sepak bola akan sulit kembali menorehkan sejarah seperti itu.

Itulah penggalan kisah istimewa di arena multi event empat tahunan 1996 di Jakarta. Setidaknya dalam catatan saya.

Sebagai media officer tim karena ditugaskan menjadi Komisi Bidang Humas Komda PSSI Sulut saat dipimpin Wagub saat itu Drs A.A Nadjamuddin, saya banyak melihat dari dekat apa dan bagaimana mereka.

Dalam struktur Persma Manado juga demikian. Humas tim hingga jadi Wasek Persma.

Kebersamaan eks skuad PON 1996 memang kuat. Faktanya, begitu grup WA yang diprakarsai Hendra Pandeynuwu itu dibentuk, sepakat untuk memasukkan bukan hanya melibatkan skuad PON 96 itu.

“Bagimana klo torang kase maso teman-teman mulai dari saat pembentukan dan yang sudah di Pra PON,”tanya Hendra kepada saya. Deal !

Itu akhirnya terealisasi. Yang terlibat sebelum maupun sudah di Pra PON serta yang belum sempat masuk skuad Pra PON juga masuk.

Bukan hanya pemain. Salah satu mantan asisten manajer dr H Simanjuntak juga diundang di dalamnya. Ya di posisi itu ada nama alm Jatrin Lahay, alm Drs F Mangundap mendamping manajer utama Bubgky Z.A.P Frederik.

Tak terkecuali mantan wasit yang juga jadi LO tim PON 1996 Isa Lawani juga di grup WA itu.

Kedekatan emosional para pemain itu memang bukan hanya terjalin hitungan bulan. Sekitar 3 tahun mereka bersama.

Ya, akrab dan penuh canda. Itulah mereka. Tak terkecuali dengan pelatih Arie Kussoy dan Machmud Uthe Thalib dan pelatih fisik saat itu Henrik Mandagi sebelum berganti alm Albert Mangantar. Tak terkecuali juga ada Yopie Mandey sempat jadi asisten Kussoy bersama Jhony Palar sebelum Pra PON di Manado 1995.

Perginya Sang Pemimpin

Lahirnya tim ini memang di saat tepat. Atnosfernya memang lagi hangat. Itu karena nyaris bersamaan Persma Manado tengah dipersiapkan untuk ke divisi 1.

Antara “adik dan kakak” debat positif (baca: uji tanding), adalah biasa. Tapi disinilah faktor pertama motivasi anak-anak dari wisma Soputan di Tikala setelah pindah dari wisma Makapetor di Rike.

Sesungguhnya dalam dua kali duel dengan Persma dan berakhir inbang serta ada ujitanding 4 kali ikut menjadi pembentuk mereka.

Tur Gorontalo, turnamen di Manokwari, lalu BIMP EAGA di Filipina dan try out anyar di Korea Selatan benar-benar menempah mereka.

Di Gorontalo maupun Manokwari kebetulan saya tidak ikut kecuali hanya di Filipina dan Korsel itu.

Di Filipina mereka bersua Kaltim, Filipina dan Brunai Darussalam. Di Korsel 5 kali laga.

Termasuk yang paling berkesan kala menghadapi tim juara Liga Korsel 1995-setahun sebelumnya- yang berakhir 16-0 yakni Ulsan Hyundai. Hendra Pandeynuwu dan Elysa Anderi, dua kiper kebagian masing-masing 8 gol. Hyundai diperkuat 4 pemain eks timnas Korsel di Piala Dunia 1994 AS dan serta dari Mesir dan Bulgaria.

Sebenarnya ada satu kiper lagi yakni Jefry Tumangken namun karena sakit dan sempat di rumah sakitkan di Ulsan dia diterbangkan lebih dulu ke Jakarta didampingi asisten manajer Roy Roring.

Try out anyar itulah menambah kepercayaan diri Leo cs. Maklum selama 2 pekan di sana, ada juga coaching clinic dari eks pemain timnas Korsel.

Benar-benar pengalaman hebat di negeri Ginseng. Ada hal menarik ketika tombongan tiba di Jakarta.

Saat berada di hotel Peninsula Jakarta, Yohan dan Alen berucap,” Ram torang telepon coach Arie.” Di era belum ada ponsel, maka telepon join depan hotel kami pakai dan saya mencoba menghubungi coach Arie lewat telpon rumah. Dan secara kebetulan pula coah Arie yang mengangkatnya.

“Halo siang coach,” kata saya. Coach pun seketika membalas,”halo Ram so dimana ngoni masih di Korsel atau so di Jakarta.”

Saya pun sampaikan bahwa rombongan tiba dengan selamat ke tanah air dan sudah berada di Jakarta. Tengah transit semalam sebelum pulang ke Manado. Itu kisaran bulan Juli 1996.

“Syukur jo. Bagaimana anak-anak”, tanya coach lagi. Saya pun bilang Yohan dan Alen mau bicara.

Lantas, apa yang saya dengar waktu itu ? Alen bilang bahwa mereka dapat pengalaman berharga di Korsel. Sementara Yohan berucap,” Torang bale Jalarta nanti September, PON, torang bisa dapat medali coach ! Kami yakin sekali coach!”

Kussoy memang tak ikut mendampingi Leo cs di Korsel waktu itu. Sepenuhnya sisi teknis tanggung jawab Uthe.

Akhirnya ucapan Yohan itu bisa dibuktikan mereka. Para skuad lainnya Jeffry Sinadia, Bambang Salim, Deny Lumintang, Juffry Rumondor, adalah pencetak sejarah.

Kini Kussoy dan Uthe telah berpulang. Kemudian Izack Fatari, lalu duo stopper Rachman dan Leo. Tapi kebanggaan telah kalian ciptakan lewat perunggu. Ya perunggu di sepakbola layaknya emas!

Selamat jalan sahabatku Leo, pemimpin rendah hati namun tegas. (*)