Palsukan Data dan Daftar Pemilih Bisa Dipenjara 12 Bulan Denda 12 Juta

Penyelenggara Pemilu Diminta Waspadai ‘Pemilih Siluman’ di Pilkada Manado

Pemilihan kepala daerah, Pemilih Siluman, Tempat Pemungutan Suara, TPS, UU Nomor 10 tahun 2016, Andrei Angouw, Richard Sualang, AARS, Donny Wullur, Vicky Gaghana,
Tim hukum pasangan Cawalkot dan Cawawalkot Manado, Andrei Angouw – Richard Sualang (AA-RS).

MANADO, (manadotoday.co.id) – Pemilihan kepala daerah serentak akan digelar pekan depan tepatnya 9 Desember mendatang. Khusus di Kota Manado, penyelenggara Pemilu harus extra kerja keras mewaspadai adanya ‘Pemilih Siluman’ yang akan datang di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Sebab aturan main bagi KPPS sudah jelas tertera dalam UU Nomor 10 tahun 2016. Bahkan, sanksi pidana penjara menanti bagi penyelenggara jika terbukti berbuat nakal

Bidang Hukum Tim Pemenangan Andrei Angouw-Richard Sualang (AARS) mencurigai adanya pengerahan serta mobilisasi massa salah satu Pasangan Calon yang bakal menyusup di semua TPS yang tersebar di 11 kecamatan, 87 kelurahan dan 504 lingkungan di kota Manado.

“Info yang berkembang, para Kepala Lingkungan berkoordinasi dengan KPPS untuk mendata nama-nama yang masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT KPU Kota Manado 2020), tapi pemilih tersebut berada diluar daerah yang kemungkinan tidak akan datang memilih di TPS nanti. Ada dugaan nama-nama itu akan dibuatkan Surat Keterangan atau KTP supaya mereka bisa memilih nantinya. Tapi kami tim hukum tetap menggunakan asas praduga tak bersalah,” ungkap tim hukum AARS, Donny Wullur, SH, Edwart,SH dan Hartum Vicky Gaghana, SH kepada wartawan, Sabtu (5/12).

Lanjutnya, tim pencari fakta yang dibentuk oleh tim hukum AARS menduga perekaman E-KTP yang dilakukan Dinas Dukcapil Kota Manado kepada warga belum lama ini, akan menjadi cikal bakal ‘pemilih siluman’ pada Pilkada nanti.

“Karena sampai dengan saat ini masih ada pemilih yang belum memiliki E-KTP dan diduga juga para pemilih ini akan dibuatkan Surat keterangan dari Dinas Dukcapil agar nantinya bisa menyalurkan hak pilih mereka nanti di TPS,” ungkap mereka.

Berdasarkan temuan tim pencari fakta bahwa perekaman E-KTP saat lebih banyak dinikmati oleh pendukung paslon yang mempunyai hubungan erat dengan pemerintah kota Manado saat ini.

“Tetapi yang didapati oleh tim hukum yang ada di kelurahan seperti di Bunaken Kepulauan yang seharusnya difasilitasi dari tim Disdukcapil kota Manado mengambil perekaman di daerah tersebut kenapa malah dalam pemberitaan yang kami temukan dilakukan dan difasilitasi oleh salah satu tim pemenangan Calon lain,” ucap tim hukum.

Dugaan modus yang digunakan dalam hal ini adalah teknis perekaman E-KTP imbasnya masyarakat yang ingin membuat E-KTP yang diduga tidak ‘SEPAHAM’ dengan calon tertentu akan dipersulit pengurusannya menjelang tanggal 9 Desember 2020.

“Sehingga ada sebagian masyarakat yang tidak dapat menyalurkan hak pilih sebagai warga negara yang baik karena tidak mempunyai E-KTP, terlebih bagi pemilih pemula yang belum melakukan perekaman E-KTP tidak dapat memberikan hak politiknya,” ujar tim hukum sembari berharap Bawaslu dan KPU harus kerja keras mencermati adanya dugaan ‘Pemilih Siluman’ itu.

Dasar hukum Undang-undang nomor 10 tahun 2016 pasal 58, dan pasal 177 lanjut tim hukum sudah jelas tertera aturan main bagi penyelenggara pemilu dalam hal ini KPPS.

“Bagi anggota KPPS sudah jelas aturan mainnya. Diantara Pasal 177 dan Pasal 178 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 177A dan Pasal 177B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 177A (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memalsukan data dan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan dan/atau saksi pasangan calon dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya,” urai tim hukum AA-RS. (*/ton)