JAKARTA, (manadotoday.co.id)—Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) Rabu (21/9/2022) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian Lingkungan Hidup dalam hal ini Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan serta Dirjen Planologi Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
RDP membahas masalah kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, serta implikasinya terhadap kewenangan daerah atas lingkungan hidup dan kehutanan pasca diundangkannya UU Cipta Kerja (UU CK).
Saat membuka kegiatan, Ketua BULD DPD-RI Ir Stefanus BAN Liow MAP mengungkapkan, tujuan RDP adalah untuk memperoleh penjelasan
Dalam pembukaannya, Stefanus BAN Liow selaku Ketua BULD DPD RI menjelaskan tujuan dari diadakannya RDP ini adalah untuk memperoleh penjelasan lebih lanjut terkait instrumen perizinan dan pengawasan lingkungan hidup dan kehutanan pasca UU Cipta Kerja beserta peraturan pelaksanaannya.
‘’Kami ingin memperoleh gambaran tentang kebijakan nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan beserta problematikanya, selain untuk memperoleh penjelasan terkait pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah di bidang lingkungan hidup dan kehutanan serta implikasinya terhadap kebijakan atau regulasi lingkungan hidup dan kehutanan di daerah,’’ ujar Senator Stefanus Liow didampingi Wakil Ketua BULD DPD-RI H Akhmad Kanedi (Bengkulu) dan KH Amang Syafrudin (Jawa Barat) di Kompleks Parlemen Senayan (21/9/2022).
Stefanus Liow, Senator dari Daerah Pemilihan Sulawesi Utara mengatakan, pemaparan dan pembahasan materi menjadi acuan pemantauan dan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) dan Peraturan Daerah (Perda) terkait perizinan di bidang lingkungan hidup, kehutanan dan pertambangan.
Itu dalam kerangka mengharmonisasi legislasi pusat dan daerah, sekaligus membantu mendorong percepatan pembentukan produk hukum daerah demi kepastian hukum bagi efektivitas pembangunan daerah.
Dalam RDP tersebut, Anggota BULD DPD-RI dari Kepulauan Riau Haripinto Tanuwidjaja mempertanyakan mengenai limbah laut dari kapal-kapal yang berdampak pada kondisi pesisir laut namun sampai saat ini belum ada penyelesaian dari Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan.
‘’Banyak pencemaran laut di Kepulauan Riau. Adanya limbah oli di pantai dan banyak sampah plastik dari masyarakat. Bagaimana penanganannya?,” kata Haripinto.
Sementara Anggota BULD DPD-RI dari Lampung Jihan Nurlela Chalim mempertanyakan proyek strategi nasional dan pembangunan energi serta mempertanyakan sudah sejauh mana road map dan bagaimana cara membersihkan perairan di Indonesia, karena itu berpengaruh pada nelayan.
‘’Dalam berbagai proyek strategis nasional dan pembangunan energi apakah ada komunikasi pada pemerintah daerah setempat dan penduduk lokal dan sudah sejauh mana usaha dalam proses membersihkan perairan kita?,’’ kata Jihan.
Terkait proyek strategis nasional dan pembangunan energi, Plt Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Ruandha Agung Sugardiman menjelaskan, sudah ada komunikasi dan pelibatan masyarakat.
‘’Masyarakat sudah dilibatkan dan sudah berkomunikasi dengan masyarakat perihal proyek strategis nasional dan pembangunan strategis terutama proyek yang berdampak langsung kepada masyarakat. Kami juga melakukan survey,’’ jelas Ruandha.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL), Sigit Reliantoro memaparkan mengenai limbah laut dan sampah plastik yang ada di pesisir pantai Kepulauan Riau.
‘’Harus ada peraturan tentang limbah plastik di pesisir pantai, yakni tentang pelarangan penggunaan kantong plastik dan sektor agroindustri harus didorong untuk menggunakan manager yang mengelola limbah agar mengurangi limbah yang dihasilkan,” jawab Sigit.
Selain Haripunto dan Jihan, sejumlah Senator lainnya, antaranya Akhmad Kenedi (Bengkulu), Intsiawati Ayus (Riau), Mangku Pastika (Bali), H Sukiryanto (Kalbar), Muhammad Wartabone (Sulteng) memberikan pertanyaan, pandangan, pendapat dan masukan bahkan meminta kejelasan dari kedua Dirjen KLH sekitar supaya daerah dalam menyusun Ranperda dan Perda agar tidak berbenturan dengan regulasi yang lebih tinggi, seperti UU dan Peraturan Pemerintah. (ark)