Di Sulut, Sudah Belasan Dokter dan Puluhan Perawat Terpapar Covid-19

steaven dandel
Jubir Gugus Tugas Covid-19 Sulut dr. Steaven Dandel

SULUT, (manadotoday.co.id) – Penyebaran Covid-19 atau virus corona di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) terus terjadi. Bahkan, sudah belasan dokter dan puluhan perawat terpapar Covid-19.

Jubir Gugus Tugas Covid-19 Sulut dr. Steaven Dandel mengatakan, sejauh ini sudah 17 dokter dan 40 perawat terpapar Covid-19. Para tenaga kesehatan yang terjangkit ini, bukan yang bekerja di ruang isolasi namun justru yang bekerja dan bertugas di ruangan biasa.

“Ini karena ada pasien yang dirawat di ruang biasa, kemudian setelah dilakukan pemeriksaan ternyata positif Covid-19. Hal ini juga karena terjadi triase IGD yakni proses penentuan atau seleksi pasien yang tidak tepat. Kemudian pasien dirawat di ruangan biasa, dan akhirnya menjangkiti dokter dan perawat di ruang tersebut,” ungkap Dandel.

Disampaikan Dandel, masyarakat perlu tahu jika tenaga kesehatan telah meluangkan waktu bahkan harus meninggalkan keluarganya demi merawat pasien Covid-19. Sehingga kalau ada kehati-hatian, hal itu untuk mencegah adanya penularan di fasilitas kesehatan.

“Kehati-hatian ini perlu dipahami masyarakat. Hal ini untuk meminimalisir penyebaran Covid-19. Untuk memilah pasien yang dirawat di ruang biasa, manajemen kasusnya tidak sama dengan yang di ruang isolasi,” ungkapnya.

“Di ruang isolasi, dokter dan perawat menggunakan APD level 3 sedangkan ruang biasa hanya level 2. Karena kalau terjadi kesalahan memilah ruang bisa berbahaya. Karena akan menjangkiti petugas kesehatan atau pasien lainnya yang ada di situ,” tandasnya.

Ia menuturkan, saat ini ketika ada pasien yang masuk IGD, maka protap yang dilakukan adalah  pemeriksaan photo torax, dan screening. Hal itu akan menjadi penentuan kriteria apakah ODP, PDP atau bukan.

Dandel pun angkat bicara terkait tudingan miring menjadikan pasien Pasien Dalam Pengawasan (PDP) sebagai proyek untuk mendapatkan pembayaran pembiayaan dengan angka sampai 15 juta per satu PDP.

Menurutnya, dalam menetapkan kasus PDP Covid-19, harus ada dokumen pendukung yang terkait dengan kebenaran diagnosa PDP.

“Kita berharap mampu menekan hoax (kabar bohong) yang beredar di masyarakat. Apalagi belakangan ini makin berkembang isu bahwa Covid-19 ini merupakan proyek dari pemerintah, atau dari rumah sakit. Kami mau pastikan bahwa hal itu tidak benar adanya,” ujar dr Steaven.

Disampaikan Dandel, di era keterbukaan informasi, warga bisa mengakses dokumen pemerintah secara resmi untuk mendapatkan kebenaran informasi tersebut secara resmi.

“Bapak dan Ibu, di tengah kemajuan teknologi, di tengah-tengah kesempatan aksesibilitas dokumen pemerintah secara resmi sebenarnya juga bisa mengklarifikasi apakah betul ada aturan, regulasi dari kementerian dan lembaga pusat bahwa satu orang pasien PDP memang dibiayai oleh Negara sampai puluhan juta. Bisa diakses semuanya, di-download regulasi-regulasi ini,” ungkapnya.

Lanjut Dandel, tidak ada satupun regulasi di Indonesia yang menetapkan bahwa satu pasien PDP dibiayai sebesar angka-angka yang beredar di media sosial.

“Karena pembiayaan PDP itu disesuaikan dengan berat/ringannya penyakit, lama perawatan dan tentu juga dengan komplikasi yang dialami. Dan semuanya itu disesuaikan dan diverifikasi oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah untuk memverifikasi semua dokumen ini sehingga kemudian RS tidak serta merta dengan semudah itu bisa mengklaim semua kasus PDP untuk bisa dibayarkan oleh gugus tugas pusat lewat BNPB,” jelasnya.

Dandel menegaskan, ada beberapa dokumen pendukung yang harus disediakan oleh RS untuk mendapatkan pembayaran dari Negara atas pembiayaan pasien PDP Covid-19.

“Terutama dokumen-dokumen yang terkait dengan kebenaran diagnose PDP ini. Entah itu foto rontgen, atau laboratorium, swab dan lain sebagainya. Dengan adanya dokumen-dokumen pendukung kebenaran diagnose tersebut baru bisa disetujui oleh verifikator dan kemudian dibayarkan. Tetapi tidak ada dibilang satu pasien PDP itu 15 juta, ada yang bilang 150 juta. Sama sekali tidak benar,” ujarnya.

Dandel juga mengklarifikasi terkait informasi yang viral bahwa setiap dokter dibayar Rp15 juta.

“Itu juga tidak benar. Penghitungan insentif dokter bagi perawatan pasien Covid-19 ini disesuaikan dengan beban kerja, jam kerja, lamanya berada di ruang isolasi, maupun juga jadwal kerjanya. Beberapa simulasi yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Daerah Provinsi Sulut justru menghasilkan kesimpulan rata-rata petugas medis itu bisa menerima insentif di kisaran 600 ribu sampai 1 juta saja. Itu yang sesuai dengan regulasi,” imbuhnya.

Dengan penjelasannya tersebut, Dandel meyakinkan masyarakat bahwa tidak benar tudingan miring yang menyebutkan bahwa dokter, petugas, atau perawat dengan sengaja membuat pasien, apapun penyakitnya menjadi PDP.

“Karena ada langkah, ada tindakan medis yang dilakukan sehingga seorang pasien ditetapkan menjadi PDP,” tegasnya. (*/ton)