Ada Jaminan Harga, Petani Bergairah, Tak Ada Lagi Lahan Tidur

OD-SK dan Krisis Petani di Sulut (3)

 Catatan: Adri Mamangkey

Lahan Tidur, petani, Krisis Petani, adri mamangkey
Adri Mamangkey

KURANG bergairahnya petani mengelola usaha tani sehingga banyak lahan pertanian yang terlantar karena fluktuasi harga (memang itu salah satu ciri khas komoditi primer) yang sangat menyakitkan petani. Sebelum petani melakukan penanaman, harga komoditi tinggi dan menggiurkan. Tapi, saat tiba musim panen harga anjlok. Kadang untuk menutupi biaya produksi saja tidak bisa, apalagi mengharapkan nilai tambah dari komoditi tersebut.

Yang lebih memprihatikan adalah pemerintah masah bodoh. Padahal pemerintah sendiri yang menyarankan agar petani menanam komoditi tersebut. Tak heran sebagian besar petani tidak percaya lagi terhadap program pemerintah terkait usaha pertanian. Walaupun diiming-imingi bantuan, tapi banyak petani yang memilih menyimpan atau menjual kembali bantuan tersebut, misalnya pupuk, dari pada digunakan untuk usaha tani itu sendiri.

Sejauh yang saya tahu, pemerintah lebih banyak menekankan pada aspek produksi dan mengabaikan aspek pasar yang terkait dengan pendapatan dan kesejahteraan petani. Pemerintah dalam hal ini instansi terkait sangat bangga dan merasa berhasil bila di daerahnya terjadi peningkatan produksi pertanian, apalagi berhasil melakukan swasenbada pangan. Sementara mereka tidak peduli dengan berapa kenaikan pendapatan petani dari hasil peningkatan produksi.

Oleh sebab itu, saya sangat berharap Gubernur Sulut Olly Dondokambey dan Wakil Gubernur Sulut Steven Kandouw dalam mendorong usaha pertanian di daerah ini, tidak hanya memprioritaskan pada aspek produksi tapi juga jaminan harga di tingkat petani perlu mendapat perhatian khusus. Kalau jaminan harga ini diabaikan, saya pesimis OD-SK mampu membuat petani bergairah, seberapa pun bantuan yang diberikan kepada petani.

Untuk menjamin harga di tingkat petani, sebenarnya tidak terlalu sulit, asalkan pemerintah punya komitmen dan keseriusahan untuk memberdayakan petani. Misalnya, pemerintah Sulut ingin mendorong pengembangan komoditi jagung. Langkah pertama yang dilakukan Dinas Pertanian melakukan analisa usaha tanaman jagung. Dari hasil analisasi usaha ini, maka pemerintah daerah menetapkan patokan harga minimal yang berlaku di tingkat petani. Dan harga ini yang harus dijamin pemerintah.

Misalnya, dari hasil perhitungan analisasi usaha menanam jagung, setelah dihitung biaya produksi, yang terdiri dari biaya pengolahan lahan, bibit, pupuk, dan biaya pemeliharaan sampai pasca panen, maka titip impas, misalnya berada di kisaran Rp2000 per kilogram. Artinya, petani tidak untung dan juga tidak rugi. Maka tinggal dihitung berapa keuntungan yang wajar bagi petani, misalnya, Rp2000 per kilogram. Maka harga patokan di tingkat petani Rp4000 per kilogram. Sehingga kalau petani menanam jagung dengan produksi rata-rata 5 ton per hektar, maka keuntungan petani mencapai Rp10 juta per hektar. Kalau mulai pengolahan lahan, menanam sampai pada pasca panen memerlukan waktu sekitar 3 bulan, maka petani mendapat keuntungan rata-rata Rp 3 juta lebih per bulan. Dengan gambaran ini, petani akan berlomba-lomba untuk menanam jagung. Tanpa ada bantuan pun, mereka akan menanam, apalagi diikuti dengan bantuan sarana produksi pertanian. Kalau OD-SK mau melakukan ini, saya yakin seyakin yakinnnya, tidak akan ada lagi lahan tidur, apalagi petani tidur di Sulut. Bahkan, para pejabat pun yang punya banyak sekali tanah di desa, yang juga sebagian besar terlantar akan tidak terlantar lagi.

Persoalan sekarang adalah bagaimana pemerintah menjamin harga komoditi di tingkat petani, sementara pemerintah tidak bisa melakukan jual beli? Tentu pemerintah harus menggandeng pelaku ekonomi, baik BUMN/BUMD, koperasi atau swasta yang punya komitmen bersama. Dan tentu pemerintah memberikan intensif khusus bagi pelaku usaha yang ingin bermitra dengan pemerintah untuk mendorong usaha pertanian dalam rangka mensenjahterakan petani.

Dalam kaitan itu, saya coba untuk memberikan beberapa alternatif pola kerja sama yang bisa dibangun pemerintah daerah dan pelaku usaha. (bersambung). (BACA BAGIAN 4: Saatnya Memulihkan Kepercayaan Petani pada Program Pemerintah)