Usaha Pertanian Kini Mengalami ‘Penyakit Kronis’

OD-SK dan Krisis Petani di Sulut (01)

Catatan: Adri Mamangkey

adrie mamangkey
Adri Mamangkey

SEBAGAI anak petani, tentu saja saya bangga dengan kekhawatiran Gubernur Sulut Olly Dondokambey bahwa beberapa tahun ke depan di Sulut akan terjadi krisis petani. Artinya, sebagian besar angkatan kerja atau usia produktif di pedesaan tidak tertarik lagi menggarap usaha pertanian dan cenderung memilih profesi di luar sektor pertanian. Padahal, potensi pertanian di daerah ini sangat besar, bahkan boleh dikata sektor pertanian masih menjadi tulang punggung ekonomi daerah terutama masyarakat di daerah pedesaan.

Mengapa saya harus bangga, karena Gubernur Olly Dondokambey (OD) dan Wakil Gubernur Steven Kandouw memprioritaskan sektor pertanian dan pemberdayaan petani dalam programnya lima tahun ke depan. Bukan hanya sekadar program tapi saya berharap ada terobosan baru untuk menggenjot usaha yang menjadi ‘’OBAT’’ dan penyelemat bagi negara saat dilanda krisis ekonomi 1997-1998 lalu.

Saya tetap salut, walau pun menurut saya, kekhawatiran OD itu sudah terjadi di Sulut bahkan sangat terasa sejak 10 tahun terakhir ini. Dimana, banyak petani yang tidak lagi fokus pada usaha pertanian dan beralih profesi. Tak heran banyak lahan pertanian yang terlantar dan tidak digarap sama sekali. Kalau pun ada yang masih dikelola, itu karena adanya bantuan dari pemerintah. Itu pun tidak banyak. Yang lebih memprihatinkan, ketika bantuan itu berhenti, usaha pun ikut stop. Artinya, petani tidak lagi melanjutkan usahanya. Ibarat orang sakit, program yang dilakukan pemerintah selama ini hanya memberi bantuan pernafasan. Setelah itu dicabut, maka kehidupan juga berakhir. Jadi, terapi dan obat yang dilakukan pemerintah melalui program pemerintah bukan obat yang menyembuhkan petani dari sakit kronis yang dialami petani saat ini. Belum ada terobosan yang dilakukan pemerintah untuk menjamin petani bahwa usaha pertanian bisa menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Petani belum bisa melakukan saving untuk modal usaha berikutnya. Sebab, untuk kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup.

Banyak fakta untuk membuktikan bahwa dari sisi bisnis, usaha pertanian sangat berisiko dan jauh dari tingkat kelayakan. Ini didukung dengan tidak ada keberanian pihak perbankan untuk membiayai usaha tani. Saya banyak kali mewawancarai pihak perbankan dan ketakutan mereka membiayai usaha pertanian karena risikonya besar. Bahkan kredit yang disubsidi pemerintah saja, kadangkala bank takut menyalurkannya. Kalau ada pun karena ‘dipaksa’ pemerintah.

Data resmi pemerintah memang petani sangat sulit meningkatkan kesejahteraan kalau program pemerintah hanya biasa-biasa saja. Sebagai contoh, data Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, Nilai Tukar Petani (NTP) di Sulut Desember 2015 ini sebesar 96,85 persen. Dengan angka ini, menunjukkan, nilai yang diterima petani lebih kecil dibanding indeks harga yang dibayar petani. Melihat angka di atas dan pengalaman saya sejak memulai profesi sebagai jurnalis tahun 1989 yang sampai sekarang banyak bergulat dengan kehidupan petani, tidak sependapat dengan penilaian sejumlah kalangan bahwa lahan yang tidak tergarap disebut lahan tidur, menurut saya petaninya yang tidur.

Mengapa saya tidak sependapat? Karena kenyataan di lapangan bahwa petani sama sekali tidak lagi mendapat nilai tambah dari usaha pertanian. Ibarat suatu usaha, kalau tidak menguntungkan, lebih baik tutup dari pada dilanjutkan tapi terus merugi.

Jadi, menyalahkan petani atau memaksakan petani untuk mengelola usaha pertanian tanpa diikuti dengan kebijakan strategis untuk melidungi petani adalah sangat keliru dan tidak bijaksana.

Sejauh yang saya amati, kebijakan pemerintah di bidang pertanian tidak menyentuh sama sekali persoalan mendasar petani sehingga usaha pertanian terbengkalai. Selama ini pemerintah menganggap bahwa bantuan peralatan dan saprodi sebagai solusi. Padahal bukti di lapangan tidak mengobati penyakit kronis yang dialami petani. Yang ada cuma mempertahankan usaha pertanian yang lagi sakit supaya bisa kelihatan ada aktivitas pertanian. Anehnya, tidak ada terbosan baru dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini, selain memberikan bantuan saprodi yang justru kalau ditelusuri lebih jauh sebagian besar tidak kena sasaran. Kalau pun kena sasaran, belum menjadi jaminan usaha pertanian akan bergairah.

Oleh sebab itu, dengan ada pemimpin baru di Sulut, perlu ada langkah-langkah strategis yang dilakukan OD-SK. Bukan hanya sekadar memberikan bantuan dan menyalahkan petani seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Lantas apa yang harus dilakukan OD-SK untuk mengobati sakit kronis petani di Sulut? (bersambung).

(BACA BAGIAN 2: Penyakit Kronis Tapi Obatnya Sederhana: Jamin Harga Petani)